Pages

Sabtu, 02 April 2011

Dua puluh dua

Ini adalah potongan cerita dari novel "Selembut Lumut Gunung" karangan Kurnia Effendi,yang menginspirasiku untuk membuat sebuah naskah drama yang akhirnya sempat dimainkan oleh teman-temanku dalam suatu acara "Pentas Seni" waktu aku SMA dulu...


...Gerimis masih turun,rinai,mirip percik air mata bidadari.Mendung putih berlapis-lapis menyerupai susunan kapas membalut langit Jakarta.Namun Gumilar bersedia menembusnya tanpa banyak pertimbangan.Bahkan sampai seluruh pakaiannya perlahan-lahan basah.Motornya terus berlari di jalan aspal yang licin.Diantara mobil yang berlambat-lambat menjaga jarak.
Ini hari kelima-belas Fitri tidak muncul di rumahnya.Ini puncak dari perasaan tersiksanya setelah ia sia-sia memenuhi permintaan gadis lembut itu.Ia telah gagal menumpas tuntas cintanya terhadap gadis teater itu.Semburat kerinduan tak lagi bisa diredam dalam rongga dadanya.

Dan keputusan untuk menjumpainya lahir ketika Dewi mengatakan bahwa sudah dua hari teman sebangkunya itu tidak masuk sekolah karena sakit.
Sakit?Seberapa parah?
Kecurigaan berkelebat di hatinya.

"Apa sih yang sebenarnya terjadi diantara kalian?"tanya Dewi tadi.Matanya memandang menuntut penjelasan.
"Seharusnya kamu tanya sendiri sama Fitri."Gumilar menghindar dengan memalingkan muka.
"Lo,nyakitin dia,kak?"Dewi tak peduli.
Kini Gumilar menatap adiknya dengan sepasang mata muram.Siapa sebenarnya yang sakit di antara kami,Dewi?Gumilar sedih karena ternyata Dewi tak sepenuhnya memahami perasaan yang menghuni relung hatinya.

"Fitri jadi pendiam.Selalu saja punya alasan buat menolak kalau gue ajak ke rumah.Biarpun dia pinter nyembunyiin kesedihannya,tapi dari matanya gue tahu,dia nyimpen perasaan putus asa.Herannya,dia selalu mengelak kalu gue tanya.Sekarang dia sakit.Gue nggak mungkin ngganggu dia sama pertanyaan-pertanyaan yang mungkin malah tambah bikin parah penyakitnya.Gue yakin.Ini ada hubungannya sama lo,Kak.Kenapa lo tega bikin dia menderita,Kak?"
Membuat dia menderita?Tuhan,siapa sebenarnya yang salah di antara kami?
"Coba bilang,Kak!Apa yang sebenarnya terjadi?Kenapa kalian nggak mau jujur sama gue,sih?Kenapa?"Mata Dewi mulai kabur olah kaca-kaca air.
"Oke.Gue akan ke rumahnya!Gue akan tanya,kenapa dia begitu."

Gumilar bergegas ke garasi.Dewi mengikutinya.Dan ketika Gumilar menyalakan motornya.Dewi protes.
"Di luar hujan!Lo harus pakai mobil,Kak!"
"Nggak perlu!"Gumilar meluncurkan motornya ke tengah gerimis.Aku ingin menunjukkan,bahwa hujan masih lebih ringan dibandingkan siksaan yang diberikannya kepadaku,batinnya.
Dan itulah yang terjadi kemudian.Lalu lintas padat merayap karena pada setiap terowongan underpass banyak motor yang berteduh,dan akibatnya menyita sebagian besar lebar jalan.Membawa mobil terpaksa memperkecil jumlah jalur.Tapi Gumilar tidak ingin berteduh.Semakin cepat ia sampai di rumah Fitri,tentu semakin lekas memperoleh jawaban.

Sepanjang dua puluh dua menit motornya meraung menembus gerimis pekat.Ia tiba di halaman rumah Fitri dengan tubuh yang mulai menggigil.Dua adik Fitri menyambutnya didepan rumah.Rupanya mereka belum pernah melihat Gumilar.Maka pemuda itu cepat-cepat menyajikan senyum terindah kepada mereka.
"Kakak,siapa?"
"Aku temannya Fitri."
"Oo....,"keduanya celingukan.Saling memandang sebentar.Mungkin karena merasa terganggu.Mereka sedang bermain air dengan memutar-mutar payung di teras,yang menghasilkan semburat air seperti kincir.
"Tadi Mbak Fitri ada di teras belakang..."
"Bisa lewat sini?"Tak sabar Gumilar meloncati beberapa barisan perdu bunga yang tumbuh di halaman.Lalu tanpa menanti jawaban,tangannya telah membuka pintu pagar samping.Ia melihat seorang gadis duduk menatap rintik air yang jatuh di taman.

Suara langkah Gumilar yang tidak perlahan tentu mengejutkan gadis itu.
"Gumilar...."bibir indah itu menyapa ragu.Ada nyala dimatanya.Mungkin mirip kerlip bintang.Mungkin matahari fajar.Atau cahaya purnama?
Fitri berdiri ketika Gumilar mendekat.Sejenak mereka seperti berada di tengah padang hijau yang mahaluas.
"Fitri,"sepasang tangan Gumilar menangkap pipi yang kurus itu.Pipi yang pernah demikian ranum dan membuat seluruh wajahnya tampak cantik.Jemari pemuda itu menyentuh bibir Fitri yang pucat dan gemetar.Lalu menyusup ke dalam rambut melalui belakang telinganya.Perlahan-lahan wajah gadis itu terbenam ke dadanya yang basah.Bahu gadis itu berguncang halus.
"Bilang sama aku kalau aku nggak mimpi,Gum..."isaknya.
"Dalam sejarah pendakianku,ini pendakian terberat,Fitri.Apa kamu masih mau menghindar dari aku?"

Fitri mengangkat wajahnya.Ia menjawab lewat matanya yang basah.Gumilar menemukan pelangi di sana.Di langit biru muda yang membersit awan di sudut-sudutnya.Berpendar-pendar dengan cahaya harapan.Dan gerimis di luar mata itu,masih juga turun.Rinai.Seperti sulur benang yang sengaja diciptakan untuk menyulam lukisan cinta.

Jawaban itu,ternyata,tak perlu diucapkan.Bahkan tak perlu dituliskan di sini...

0 komentar:

Posting Komentar